Every corners of this city was our Anaheim.

★
4 min readOct 21, 2023
Recommended to read through the website to be able to fully listen to the song (or just use your Spotify app)

Track 7: Anaheim, from Nicole, by NIKI

Suara derai gerimis mulai perlahan terkikis tatkala aku usai menutup mata. Baru saja kau mendekapku erat, menatapku begitu lekat. Kali ini kau dengan berani, secara impulsif menyentuh tengkuk, membelai lembut para helaian rambut ku. Namun pada akhirnya, kau memilih untuk berdiam seraya menunduk, meletakkan kepala pada pundak kiriku. Suara derap langkah kaki terdengar — milikmu, yang berupaya untuk melangkah mundur.

Obsidian milikmu menengadah, mencari rinai yang tersisa, seakan melayang ke tempat nun jauh serta kaki tanpa hentinya menghentak pelan pada jalan beraspal dengan ritme berulang. Engkau dan usahamu ‘tuk menghindar dari realita, dariku. Inginku menangkup wajah rupawanmu dan biarkan kedua mata itu untuk saling bertukar pandang dengan milikku.

If I could, I’d freeze this moment, make it my home
You’re all I want to want to know
I can tell you mean it when you kiss me slow
But please don’t ask me, the answer’s no

Tingkahmu seakan paham betul dengan apa yang ingin ku utarakan.

Aku ingin dirimu membiarkanku tuturkan ucap-ucap maaf.

“Ji…?” Tanganku tergerak untuk menggenggam, menyentuh jemarimu satu persatu. Kau mengalihkan pandang, menoleh ke arah tangan yang melekat penuh harmoni dengan tanganku. Aku yakin — kau dan jua aku, berpendapat bahwa tiap ruang diantara jari-jemari ini saling berselaras dengan sempurna, ditakdirkan oleh Tuhan untuk selalu bertaut dan bersama. Tapi aku menolak. Entah mengapa.

Entah mengapa tak bisa menerima dirimu seutuhnya.

Kedua bibirku saling memisah, ingin ungkapkan frasa yang telah kau terka. Agaknya aku khianati diri sendiri, tak berani untuk mencuri pandang pada iris hitam pekat itu. Menjaga agar tak terhanyut lebih dalam, sebab dirimu berhak dapatkan segala hal baik di dunia yang tak bisa ku bagikan. Di bentala selain tempat kita berpijak, aku pasti akan mencintaimu dengan lantang. Penuh dan tumpah ruah. Namun, maaf, bukan semesta yang ini. Dimana aku hanya bisa menuang dengan tangan yang gemetar pun gelas terisi hanya seperempat. Tempat para rintik hujan yang jadi saksi akan engkau dan rasa sakit tanpa suara.

In a perfect world, I’d kill to love you the loudest
But all I do is live to hurt you soundless

“Sorry.” Hanya satu kata yang bisa ku lontarkan. Aku memang pengecut paling handal, jagoan dalam menelan rangkaian kata. Namun kau tetap paham, kita telah luluh lantak tanpa perlu adanya permulaan. Helaan nafas panjang ku tarik dalam-dalam dan kulanjutkan, “SorryYou know the reasons well, … right?”

Aku mendongak, dan kau mengikuti arah rana milikku. Senyuman pahit tersimpul pada sudut bibirmu. “I know, I know.” Sembari berbicara, tanganmu menyisipkan helaian rambutku yang telah diterpa semilir angin ke belakang telinga. You don’t have to apologize for anything, really.”

“No one’s at fault.”

Seharusnya, memang seperti itu. Pada akhirnya aku bak penyusup yang ingin mendobrak tanpa salam, namun kau tak masalah, kau malah biarkan pintu terbuka dan ulurkan tangan dengan lebar. Kau hanya memandangku, dengan senyum itu yang ingin ku lenyapkan dari kepala, kala aku tanamkan bibit harapan yang entah kapan bisa berkembang. Aku membiarkanmu habiskan waktu untuk menanti, menanti, dan menanti. Maka dari itu haruslah aku bersimpuh minta maaf, sebab tak bisa janjikan akan hari esok yang kau dambakan. Pada kisahmu ini, seharusnya aku penjahatnya, Ji.

Say you see I’m lyin’ babe, and let this go
I can never promise you tomorrow

Kau layangkan kalimat tanya, “If it’s okay, can I still wait for you?”

Aku tertegun. Ini satu-satunya hal yang kubenci akan dirimu. Kau tahu terlalu banyak untuk bisa memahami isi hati. Salahku karena telah berusaha jadikan kau sebagai rumah untuk pulang, kini kau tahu segalanya. Kau tahu seberapa besar aku jua menginginkanmu. Kau pun tahu akan ketakutanku. Aku takut apabila menetap terlalu lama, rumah ini bisa hangus terkena kobaran api dengan kita yang masih berdansa di dalam. Yang ku tahu, aku hanya bisa membakar habis jika terlampau bahagia, dan aku tak mau menelantarkanmu dengan luka bakar yang sama.

This city will surely burn
If we keep this as it is

And I can’t live with myself ’cause I know you’d die for me
Oh, all I ask of you is please don’t sleep
On this bed of promises I can’t keep

Aku ingin, begitu ingin untuk mengatakan ‘ya’. Namun aku masih perlu belajar untuk menjadikanmu prioritas utama dan kau sepantasnya tak habiskan waktu berharga hanya untuk menunggu orang yang sama. Seseorang sepertimu, Ji, berhak untuk bertemu dengan puan lain yang bisa memberi kata pasti dan mencintaimu tanpa ragu. Aku yang dipenuhi akan riuh gemuruh ini, mana bisa?

Terasa seperti ada gumpalan yang menahan suara untuk keluar dari tenggorokan. Aku berupaya sebisa mungkin untuk katakan sebuah respon pada tanyamu. “I … I don’t know.” Kau pasti tersadar bagaimana suaraku kian bergetar. Aku yang semula berupaya untuk tetap berdiri tegap nan tegar, kini hanya bisa memegang tanganmu dengan erat.

Ada satu hal yang tak bisa kau pahami: aku bahkan tak mampu janjikan bisa tetap bertahan untuk seterusnya menghirup napas agar kau bisa menunggu. Jadi, kumohon, jangan. Ini upayaku untuk menyisihkan dirimu dari rasa kehilangan. Aku pernah menceritakan akan bagaimana aku merasa tersesat. Seperti berkeliling di dalam labirin tanpa ujung dimana segalanya padam, bahkan cahaya paling berbinar sepertimu tak akan kasat pada rana. Kalaupun aku bisa mendekat pada cahaya, aku tak ‘kan berani. Terlampau gemilang untuk netraku yang terbiasa pada gelita.

Aku selalu berharap aku tersesat pada dirimu, pada senyummu yang berhasil buat luluh dan tawamu bak ritme musik yang candu.

Aku mencintaimu, selalu. Namun maafkan aku karena tak bisa melakukannya secara utuh. Maaf, maaf, belum bisa mencintai layaknya segala mimpi yang ada. Mungkin di lain waktu, kala aku telah sembuh dari hiruk-pikuk yang mengungkung, dan apabila Tuhan dan takdir memberikan restu. Atau mungkin di semesta lain, dimana aku tak perlu ucapkan beribu kata maaf ini padamu.

But baby, I’m so sorry
I don’t think that I’ll ever memorize this route
’Cause I am lost, but not in you.

--

--